Fenomena dari sebuah kota yaitu kota Tarakan yang berteriak dan menjerit menyaksikan perubahan zaman. Kata " Tarakan Menjerit" hanyalah sebuah kata sederhana yang sepintas tak memiliki makna, akan tetapi secara pribadi adalah sebuah kritik pedas terhadap kemunduran moral di Kota Tarakan . Hal ini dapat di lihat dari pola hidup mereka yang menyimpang jauh dari norma-norma budaya ketimuran. Budaya itu lambat laun terkikis oleh perubahan yang tak terbantahkan, mau tidak mau kita terseret kedalamnya.
Fenomena ini hanya di pandang sebelah mata atau sepintas lalu. Pergeseran budaya ini tersamarkan dengan indah karna dibalut oleh kebutuhan manusia hedon yang telah mencapai klimaksnya pada masa urban ini. Dengan demikian frase ini tersamarkan oleh gemerlapnya hidup, ia pun menjerit.
Dari pinggiran kota Tarakan yang larut dalam gelapnya malam terdengar suara rintihan nurani yang menyeruak memenuhi langit-langit Kota Tarakan. Itu adalah suara jeritan, jeritan dari kesucian kota dan semangat perjuangan masa lalu kala semua masih berjalan pada fitrahnya. Itu adalah suara jeritan, jeritan sebuah kota bersejarah yang menjerit dan menangis meratapi bejatnya moral manusia yang ada di dalamnya, sadarlah bahwa kita berada pada era jahilia.
Tarakan Kota Bais Menjerit adalah fenomena yang tak terhiraukan, menjerit, meronta, dan meratapi. Fenomena yang hanya terdengar oleh mereka yang masih memiliki hati nurani dan iman yang sejati. Itu adalah ungkapan dari lubuk hati yang terdalam dari alam untuk manusia.